Cerpen Aloe vera

Aloe vera

Serumpun lidah buaya tumbuh dalam sebuah kaleng bekas cat. Tumbuhan yang pinggir daunnya bergerigi dan memiliki lendir bening seperti agar-agar itu juga tumbuh di beberapa kaleng bekas lain di sampingnya. Lima tanaman lidah buaya itu tumbuh di bawah sebuah pohon rambutan pada sebuah halaman yang tak bertaman.

Halaman itu tak begitu luas sebagai ukuran halaman rumah di sebuah dusun. Sebuah pagar dari batu bata yang menjadi batas antara halaman dan jalan telah mulai rapuh dan nyaris ambruk.

Dinding rumah itu terdiri dari tumpukan batu bata yang dilepa. Sebagian semen di dinding telah terkikis, sehingga tampak batu batanya. Salah satu langit-langit teras yang terbuat dari anyaman bilah-bilah bambu telah jebol. Jika hujan turun, air akan menggenangi teras rumah.

Lantai di teras pun di beberapa sisi sudah menampakkan lubang. Sementara itu, sebuah gambar wajah yang dilukis dengan kapur oleh tangan seorang anak tampak tersenyum di pintu kayu.

Pintu kayu itu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan tergesa keluar menuju pohon rambutan. Memetik sedaun lidah buaya. Anak kecilnya menangis mengikuti ibunya sambil memegang tangannya yang baru saja terbakar.

”Sudah kubilang jangan main api, masih juga kamu langgar.”

Kulit lidah buaya itu dikelupas, lantas lendir warna bening itu segera dioleskan di sekitar luka bakar di tangan anaknya. Ada rasa jengkel di dalam dada perempuan itu. Betapa tidak, anak keduanya yang seolah kemarin masih di perutnya, kini sudah berusia sepuluh tahun, menjadi sangat bandel.

Namun, sejengkel apapun perasaan di dalam dadanya, perempuan itu tidak juga tega melihat anak satu-satunya menangis menahan sakit. Andai saja sakit di tangan anaknya itu dapat berganti ke tangannya, niscaya ia akan rela memintanya.

”Usah kamu nangis, kalau tahu bapakmu, bisa dipukul kamu.”

Berangsur-angsur tangis anaknya mulai terganti isakan. Perempuan itu mendekatkan ujung kainnya ke hidung anaknya. Anaknya sangat takut kepada bapaknya. Perempuan itu pun tak ingin tangis anaknya terdengar oleh suaminya. Suaminya sangat keras dalam mendidik anak.

Pernah suatu kali anak sulungnya pulang sekolah dengan baju kotor. Tapi perempuan itu, sebagai ibu, akan selalu bisa membaca apa yang disembunyikan anaknya. Maka diceritakan apa yang baru saja dialami. Katanya, ia baru saja bertengkar karena dua temannya tiba-tiba datang mengatakan bahwa bapaknya pernah dipenjara. Lalu, terjadilah perkelahian. Anaknya merasa geram dan melayangkan sebuah kepalan tangan ke hidung salah satu lawannya.

Perempuan itu hanya tersenyum dan ia menyuruh anaknya untuk tidak menceritakan kejadian itu kepada bapaknya. Dan tentu saja ia melarang anaknya untuk melakukan hal itu lagi. Namun, tak selang lama ada orang tua yang melabrak perempuan itu.

Selepas labrakan itu, ia tak bisa menahan air mata melihat anaknya dihukum oleh suaminya. Jerit sakit anaknya seolah menyayat batinnya. Saat itu, kedua tangan anaknya diikat pada salah satu tiang rumah. Lantas, suaminya mengambil penebah kasur dan memukulkan ke tubuh anaknya.

Perempuan itu mencoba untuk membela anaknya, namun suaminya justru mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Apalagi, saat itu ia sedang mengandung anak yang ketiga.

Ndari! Ndari! Urusi bayimu yang nangis!”

Seketika perempuan itu terkejut dari lamunannya saat mendengar teriakan suaminya dari dalam rumah. Ia memberi tahu anaknya agar mengoleskan lidah buaya itu sendiri tanpanya. Perempuan itu segera menuju kamar dan membuka dua buah kancing bajunya. Tangis bayinya terhenti pada ujung puting susunya.

Suaminya tengah dibantu oleh anak sulungnya membetulkan kaki kursi. Anaknya yang sulung sangat penurut kepada bapaknya. Menurut karena takut. Sebuah peristiwa pernah dialaminya dulu, ia pernah dihukum bapak gara-gara bertengkar dengan temannya. Ia punya alasan yang tepat, menurutnya, ia membela bapaknya yang dulu memang pernah dipenjara.

Saat itu ia buru-buru pulang dan segera menyembunyikan wajahnya dari ibu. Entah kenapa, ia tidak bisa bersembunyi dari masalah yang dihadapinya. Lantas, ia pun menceritakan kepada ibunya bahwa ia baru saja bertengkar. Ia jelaskan semuanya kepada ibunya titik permasalahannya.

Saya harus tahu, kenapa bapak dulu dipenjara bu. Kalau aku tahu alasannya, tentu aku bisa membela bapak dihadapan mereka yang menghinaku.”

Sudahlah, lebih baik kamu diam. Kamu pergi saja kalau ada yang memperolokmu. Cepat ganti baju sana”

Setelah itu, sebelum sempat ia mengganti seragam. Sebuah ketukan pintu terdengar di luar. Ada sebuah suara seorang perempuan yang tengah marah-marah. Dirinya tahu, itu pasti ibu dari anak yang dihajarnya tadi. Ia tak mau mengingat-ingat lagi kejadian itu.

Ada perasaan sakit yang luar biasa saat ujung penebah itu diayun ke tubuhnya. Apalagi melihat ibunya yang tengah hamil didorong oleh bapakya. Saat itu ia berjanji jika suatu hari ia sudah dewasa ia akan membela ibunya dari amukan bapak.

Kalau megang yang bener, goblok!”

Tiba-tiba dilihat wajah bapaknya yang garang menatapnya. Keterkejutannya cukup menyadarkan dari lamunan. Segera ia memegang kayu di depannya yang baru saja dijatuhkan. Bapaknya mulai memaku kaki meja. Setiap ketukannya menambah rasa bencinya.

”Ali!” Teriak bapaknya ”belikan rokok.”

Ali segera datang. Ia menyembunyikan luka bakar di tangannya agar bapak tak melihatnya. Ia sempat bertatap dengan kakaknya, tetapi ia tak peduli. Lalu ia bergegas kepada ibunya meminta uang untuk membelikan rokok,

Ali juga sangat takut kepada bapaknya. Memang ia belum pernah kena hukuman dari bapaknya. Tapi apa yang dulu pernah dilihatnya adalah sesuatu yang mengerikan baginya. Saat itu dirinya tengah pulang dari bermain dengan temannya. Tiba-tiba ia melihat kakak lelakinya tengah diikat di tiang.

Lantas sebuah ujung penebah dipukulkan ke tubuh kakaknya. Ia mengintip dari kejauhan. Ia ingin membela kakaknya tetapi ia tak mampu melakukan apa-apa. Walau awalnya ia pun senang kakaknya dihukum karena malam sebelumnya ia mencuri jatah jajannya.

Lama kelamaan ia pun tak bisa melihat perlakukan bapaknya. Terlebih saat melihat ibunya didorong hingga jatuh ke lantai. Kakaknya menangis, ibunya menangis. Saat itu pula diam-diam ia menangis.

Setelah memberikan rokok itu, dirinya pergi secepat mungkin. Ia bermain hingga senja bersama teman-temannya. Ia telah melupakan masalahnya dengan bapak atau kakaknya. Ia memilih bermain hingga menjelang senja.

Pada malam harinya, ia tak bisa memjamkan mata dengan baik. Ia teringat kejadian sore tadi. Saat ia bermain ke rumah temannya, ingin sekali dirinya memiliki sepeda sendiri. Ah, andai saja ia bisa memintanya. Ia tak berani meminta kepada bapaknya. Ia mungkin akan menceritakan ini kepada ibunya, tapi ia mencoba menebak-nebak jawaban ibunya.

Ya, besok ibu belikan kalau sudah punya cukup uang”

Barangkali begitu jawaban ibu. Tapi, saat lama ditunggu ibu pasti tak juga kunjung membelikan. Hingga pada hari ia menagih janjinya, ibu juga akan mengatakan hal yang sama. Barangkali juga jawaban ibu adalah ”minta ini minta itu, lihat, bapakmu saja tidak bekerja”

Ah, betapa susahnya punya orang tua yang tidak punya uang banyak. Imam, teman sepermainannya, kemarin baru saja dibelikan orang tuanya sepeda baru. Sedangkan dirinya hanya punya satu sepeda. Itu pun sudah tua. Malulah ia memakainya.

Ali makin gelisah pada ruang kamar yang makin terasa panas. Tapi untung, luka bakarnya sudah tak terasa lagi. Dicobanya memejamkan mata, tetapi tak kunjung juga bisa tidur. Sementara kakaknya sudah terbaring pulas. Terdengar suara ibu dan bapakaya di samping kamar. Ia tahu, pasti bapaknya marah-marah lagi. Tapi, suara itu terdengar agak aneh.

Dilupakannya suara itu. Dipikirkan kembali bagaimana cara agar ia bisa dibelikan ibunya sepeda baru. Tapi suara ibunya di sebelah membuatnya penasaran. Ia beranjak bangun dan mencoba untuk melihatnya.

Sesampainya ia di luar kamar, suara itu makin keras. Pasti bapak sedang memaksa ibu lagi. Ia sering melihat perlakukan itu. Dilihatnya pintu kamar ibunya terbuka. Suara itu makin terdengar keras. Dilihatnya bapaknya telanjang di atas tubuh ibunya. Dadanya berdegub.

***

Dadanya berdegub. Dicoba diamata-amatinya lagi perempuan yang tengah berjalan dengan menggendong seorang anak di dadanya itu. Berkali-kali dilihatnya, dipastikan itu adalah perempuan yang selama ini dicarinya.

Tak mungkin, begitu kata hatinya. Diamat-amatinya kembali perempuan yang tengah menyusuri jalan di persawahan itu. Dipelankan laju mobilnya. Tampak baju lusuh yang dipakai perempuan itu membuat sosoknya nampak lebih tua, namun ia tak bisa melupakan sketsa wajah yang ayu itu di kaca spion.

Ia yakin. Itu adalah Wandari. Lelaki itu menginjak remnya dan berhenti di sampingnya. Wandari sangat terkejut melihat seseorang yang membukakan pintu untuknya.

Mulanya perempuan itu menolak, walau ia sempat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tapi demi bayinya yang sedari tadi menggeliat kepanasan. Ia akhirnya menerima tawaran masuk ke dalam mobil pick-up itu.

Sungguh di luar dugaan Mas Narto, begitu pikir Wandari, yang dulu ditunggunya saat masih remaja untuk menikahinya kini hadir di sampingnya. Lalu ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Percintaan mereka saat SMA dianggapnya sebagai percintaan sepasang remaja yang masih belia dan tak tahu apa-apa.

Mana suamimu?”

Bekerja”

Tepatnya, suaminya tak lagi bekerja. Kini ia memganggur di rumah. Pekerjaannya adalah bangun siang dan membentak-bentak jika belum disediakan secangkir kopi. Dulu memang punya beberapa sawah, tetapi hama menyerang panen gagal. Lantas, dijualnya sawah itu dengan harga yang cukup murah. Hingga tak ada yang tersisa.

Karena tak punya pekerjaan, suaminya menjadi mudah marah. Hingga suatu kali ia pernah bertengkar dengan tetangga karena ada yang menagih hutang. Dipukulnya tetangga itu. Lantas, tetangganya itu menuntut suaminya untuk masuk penjara.

Di bak mobil aku punya aloevera kalau kamu suka.”

Wandari menggeleng dan mengucapkan terima kasih. Memang, Mas Narto suka memelihara bunga. Cita-citanya dulu adalah berwiraswasta dengan menjual tanaman hias. Itu cita-citanya pertamanya yang berhasil diwujudkan. Cita-cita keduanya, yang justru sangat diharapkan, mungkin lebih tepat dikatakan lenyap.

Alovera adalah tanaman yang bersinar,” Wandari teringat perkataan Mas Narto dulu ”suatu hari kau akan membutuhkannya. Akan ada hari aku datang melamarmu sambil menanyakan masihkah tumbuh aloevera yang kutitipkan padamu.”

Saat itu, ia mulai menyukai aloevera. Hingga saat ini tanaman yang dititipkan kekasihnya yang telah lalu masih juga tumbuh di sepetak halaman di depan rumahnya. Pun jauh di dasar hatinya.

Karena suatu alasan, Wandari memutuskan turun di perempatan. Lantas ia memilih berjalan pulang sambil menggendong bayinya. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sebuah gambar wajah yang dilukis dengan kapur oleh tangan seorang anak tampak tersenyum di pintu kayu itu.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.