Cerpen Maafkan aku peri kecil…

Maafkan aku peri kecil…

By: Feri A. Saputra

Hari minggu yang biasa, namun dengan pagi yang berbeda. Angin tidak bertiup, seperti diam, seperti mati, namun udara terasa sangat lembut, sejuk, membuat selimut terasa lebih hangat, memeluk erat tubuh Rina yang baru terbangun dari tidur nyenyaknya, membelai lembut kulitnya, kulit yang putih dan halus.

Rina ragu untuk bangkit, ia ingin kembali terpejam. Setelah berminggu minggu berkutat dengan ribuan lembar-lembar data dan dikejar-kejar deadline yang melelahkan, ia kini merasa lega dan bebas. Sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini, suasana minggu pagi bebas tanpa beban. Rina bukan tipe wanita pemalas, ia selalu bahagia menyambut pagi, penuh semangat dan gairah dalam menyiapakan rencana-rencana hidup dan kariernya, tapi tidak hari ini, tidak di pagi ini. Ia ingin terus berada di balik selimutnya.

Rina mengubah posisinya, bertumpu pada tubuh sebelah kirinya, hingga ia bisa melihat keluar, meski samar bayangan masuk memenuhi pupil matanya dan membangun obyek yang terbalik, saraf menghantarkan obyek itu ke otak, kemudian otak yang menafsiraknnya menjadi wujud yang di pahami Rina, sebuah halaman, halaman yang hijau dan berbunga, lahan tempat bunga-bunga kesayangannya tumbuh indah, tanah tempat ia biasa berdiri memandangi langit dengan takjubnya. Hanya dinding kaca yang membatasi dia dan halamannya, dinding kaca yang indah, terpola oleh butir-butir air, mengalir dari atas hingga kebawah, dinding kaca yang dingin dan basah. dinding kaca, kamar dan halaman. Ia bersyukur dirinya masih hidup dan dipersilahkan melanjutkan hidupnya.

“thanks God, for my beautiful life”

Seketika, Rina bangkit perlahan menyingkap semua kenyamanan dan kehangatan yang dirasakannya. Rina berjalan lamat-lamat mendekati dinding kaca, ia bahkan mengabaikan kebiasaan pagi harinya. Kebiasaan mengagumi rambut hitamnya yang panjang sebahu, menguncirnya atau hanya menyisirkannya dengan jemarinya yang lentik, tidak untuk kali ini Rina terpaku terdiam. Seluruh saraf dan otaknya bersamaan merangsang tubuh untuk mematung, berhenti sejenak, kemudian membiarkan indera penglihatannya mengamati sosok yang ada dibalik dinding kaca dihadapannya, dari samar menjadi jelas. Tubuhnya bergetar, hatinya bergemuruh dengan penuh kerinduan.

Rina berlari kehalaman, menyambut sosok itu. Sosok yang ia tahu, ia kenal, dan sangat dekat. Sudah lama ia tidak melihat, menyentuh, dan bermain bersamanya. Rina benar-benar rindu sentuhannya, rindu suasananya. Suasana yang terbangun dimasa lalu, sangat jelas dan sangat nyata ketika mereka pertama kali bertemu. Rina ingat betul pertama kali menyentuh sosok ini. Jantungnya berdebar kencang, darahnya mengalir deras keseluruh tubuhnya, ia tidak mampu menahan guncangan yang dirasakan dari dalam tubuhnya sendiri. Rasa kagum, bingung dan gembira tumpah ruah bercampur di hatinya saat itu. Dan setelahnya Rina selalu ingin bermain bersama, bercanda, tertawa, berguling gembira, membiarkan kaki-kakinya di kelitiki, membiarkan wajahnya disentuh lembut dan sejuk.

Berhari-hari diawal pertemuannya ia bahagia sekali, setiap memandang sosok itu senyumnya selalu mengembang, hatinya ingin selalu mendendangkan lagu untuk sosok mungil ini. Rasa sakit yang timbul dan pertaruhan nyawa untuk dapat menghadirkan sosok manis imut yang kini ada dalam pangkuannya ini sudah hampir dilupakan, ia bahagia ia punya peri kecil, darah dagingnya sendiri.

Semakin hari peri kecilnya semakin tumbuh, kini peri itu tidak hanya terdiam dipangkuannya namun kini peri itu bisa menari dan berputar-putar, bernyanyi mengikuti arah angin, berhitung dengan sempurna meski hanya satu-dua-tiga. Rambut ikal yang hitam sempurna menghiasi di wajah bulatnya yang cantik, kulit putihnya menambah sempurna tampilannya, gerak-geriknya, tingkah polahnya membuat semua yang melihatnya pasti tersenyum. Rina bangga kecantikan dan kecerdasannya menitis padanya.

Sebagai ibu muda, Rina siap mengorbankan apa saja demi putri pertamanya. Ia mempersiapkan semua peralatan makan, pakaian dan perlengkapan peri kecilnya untuk belajar di play group, bahkan ia telah merencanakan akan seperti apa peri kecilnya nanti ketika dewasa. Untuk itu ia rela bekerja keras dan menerima banyak proyek besar dari kantornya.

”aku harus banyak menabung demi masa depan anakku” batinnya berapi-api.

Semangat itu yang menjadi kayu bakar dirinya menjalankan semua tugas dikantornya, ia banting-tulang, lari tunggang langgang mengejar deadline. Rina mengurangi porsi belanja bersama temannya bahkan ia merelakan suami tercintanya pergi sendiri ke acara konser band kesayangannya.

”maafkan aku sayang aku banyak kerjaan” rayunya pada sang suami.

Namun tanpa disadari, bukan hanya teman belanjanya yang ia lupakan atau nonton konser bareng bersama suaminya yang terabaikan, dengan kerja kerasnya ia juga melupakan peri kecil yang menjadi alasan utamanya. Deadline yang menghantuinya, seakan lebih menakutkan. Semua konsentrasi dicurahkan pada pekerjaannya, ia tidak perduli, akan tarian peri kecilnya di sampingnya, ia tidak perduli hingga sang peri berputar dan jatuh terduduk. Es krim yang tadi ada di dalam genggaman sang peri terlontar dan jatuh di atas meja kerja Rina. Mengotori selembar kertas putih berisikan print out kerja Rina dalam sebulan.

Tubuhnya geram melihat hal itu, wajahnya menjadi bengis dan seperti kerasukan setan ia berteriak keras, ”Aaaa...kkhh! kamu kenapa main disini Lana” bentaknya keras. Lana peri kecil itu kaget, tubuh kecil itu tersentak mendengar teriakan ibunya. Lana menangis sesenggukan dan pergi menghampiri ayahnya yang baru saja tiba di ruangan itu. ”Rin, kamu apa-apan sich!” tegur suami rina yang kemudian pergi bersama Lana meninggalkan Rina dengan pekerjaannnya. Rina hanya terduduk lemas, ia menunduk dan menutup wajah dengan tangan halusnya.

Perlahan, Rina merasakan sentuhan yang sama diwajahnya, di dahinya, ditulang pipinya, kemudian dibibirnya. Sentuhan yang membuatnya tersadar, kembali pada kenyataan bahwa ia tidak perduli, ia terlalu sibuk dengan sahabat-sahabat fiktifnya, jurnal-jurnal, tinta-tinta dari pulpen-pulpennya, keyboard, monitor, dan folder-folder. Rina tidak sadar kalau didunianya ada peri kecil di dekatnya. Peri yang sangat dicintainya, yang memberi senyuman tulus bahagia ketika semua orang kantor memberinya senyuman sinis, iri dan mencaci. Peri yang dicintainya, yang selalu bertanya dengan lucu dan polos ketika orang lain menggerutu tentang turunnya hujan. Peri yang dicintainya, yang diabaikan hanya karena tugas dari managernya, yang dilupakan karena deadline yang menekan tiap menitnya, yang dibuatnya menangis semalaman karena menumpahkan es krim pada selembar kertas yang siap dibawanya kekantor.

Hingga sentuhan itu datang, hari ini, masih di pagi ini

Angin kini bertiup, seperti hidup, dan bernyanyi.

Angin seolah membawakan setumpuk rasa kebahagiaan, angin pula yang membisikan kabar bahwa perinya tidak marah, tetap polos, cantik, dan selalu gembira. Tanpa sadar Rina terduduk di rerumputan halaman.

”Mama Sayang, Lana sudah bangun nich..”

”Tapi rumputnya basah sayang..”

”Tak apa.. biar aja.. Lana kenalin mama sama embun, dingin ya”

”Iya dingin?”

Hari yang indah, pagi yang indah. Kini angin masih bertiup, halus, sejuk, memeluk erat dengan sangat lembut. Suasana menjadi hangat, bukan karena mentari, bukan karena hangatnya api tapi oleh canda, dan tawa mereka. Canda Ibu kepada putrinya, tawa putri melihat ibunya bermain dengan embun pagi.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.