Cerpen PERJALANAN

Malam yang hening, nyanyian alam telah menyumbangkan keindahan tersendiri untuk dunia. Kerlip lilin dan hiasan pohon natal adalah warna yang paling menonjol. Saat itu papa sedang memimpin ibadah Natal di Jemaat Pniel Bayangkara Kalimantan Timur. Jauh di pedalaman....
Inilah kehidupan rantau yang teramat indah untuk dikenang. Sebuah anugerah yang tak terhingga. Malam istimewa, semua bersukacita memperingati kelahiran Kristus.
Akh.. Mama yang sedikit sedih tak bisa merayakan natal bersama keluarga dan persekutuan di gereja karena mama sedang mengandung diriku. Ohh... Ternyata malam itulah aku meniupkan nafas pertama kali ke dunia ini.
Di atas mimbar papa berkhotbah tentang kelahiran Kristus dan di rumah mama sendirian, juga berjuang untuk kelahiranku. Akhirnya aku selamat lahir tepat tanggal 25 Desember 1980. Dan resmilah namaku Christmas (yang artinya Hari Natal). Untuk mengabadikan marga keluarga papa... Kakek tersayang Pdt. Zeth Pamangin menambahkan marga Pamangin di belakang namaku. Lengkapnya Christmas Pamangin. Akh... sebuah nama bagi Shakespeare mungkin tidak ada artinya namun bagiku itulah wujud paling dekat dan sederhana betapa mulianya harapan keluarga untuk anak yang dicintainya.
Medio April 1986
Perusahaan tempat papa bekerja habis kontrak dan mau tidak mau papa harus pindah ke Samarinda. Saat itu kakek di Toraja meninggal dan akan disemayamkan. Berat!! Betapa beban keluarga bertambah. Akhirnya kami sekeluarga "dievakuasi" mudik ke kampung. Dan dengan kesendiriannya Papa berjuang di Samarinda.
1986-1990
Petualangan papa di rantau membawanya melanglangbuana ke berbagai daerah. Dari Samarinda papa dipindahkan ke Malinau. Bayanngkan. Rindunya menyatu dengan keluarga secara lengkap. Saat-saat itu hidupku banyak ditempa alam Tana Toraja. Masa kecilku adalah masa bergaul dengan sawah, sungai kecil, ternak kerbau. Pokoknya asli deh "pa'kampong".
1992
Kerinduan Papa untuk anak bungsu sekaligus anak lelaki satu-satunya membawaku kembali ke Kalimantan (Malinau) dan menghabiskan masa SMP di sana. Adaptasi dengan lingkungan baru sungguh menyiksa sekaligus menantang. Yang penting aku bisa menyelesaikan sekolah dengan prestasi yang cukup membanggakan. Setidaknya ini juga mengurangi rasa minderku sebagai anak desa. Toh pada akhirnya aku pun bisa ngelogat di lingkungan baruku. Paling tidak, ya... sudah nggak terlalu berantakanlah.
1995
Kerinduanku pada kampung halaman memaksa papa menuruti kemauanku kembali ke Toraja. Masa sekolah di SMU Negeri 1 Rantepao sungguah asyik. Demi mewujudkan obsesiku sebagai anak yang aktif dan kreatif, aku mencoba-coba gaul di OSIS. Hingga terlibat banyak di kepengurusan OSIS sampai kelas 3. Di sinilah mental organisasiku bertumbuh. Di sini jugalah cinta pertama bersemi. Oohh... indahnya!!
Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga yang aktifis gereja, aku juga mencoba mengabdikan diri dalam ladang Tuhan. Menjadi pengurus PPGT di Jemaat Malango Rantepao sekaligus jabatan rangkap Ketua PPGT dan Sekolah Minggu Jemaat Sa'dan. Jiwa pemberontakku mulai terasah dari sini. Ketidakadilan dan ketidakpedulian akan pembinaan generasi muda membuatku berkali-kali berurusan dengan para presbiter.
Protes, aksi dan berbagai gaya yang kutunjukkan dalam setiap persidangan membuat para presbiter merasa panas hati. Mereka kecewa. Tapi aku tak peduli. Apapun yang terjadi itu semua demi aku dan generasiku.
1998
Cita-citaku untuk menjadi seorang pendeta ditentang mati-matian oleh keluarga khususnya pihak mama. Alasannya? Aku sendiri bingung. Namun sepertinya trauma masa lalu di mana papa adalah alumni PGA yang tidak bekerja sesuai profesinya. Akhirnya aku terpaksa ikut test di UNHAS dengan hati sedikit dongkol. Di mana jiwa pemberontakku selama ini? Aku tak berdaya oleh tetesan air mata mama yang sangat menharapkan aku menjadi alumni UNHAS. Akhirnya aku diterima di UNHAS Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.
Dasarnya memang aku sudah terbiasa dengan organisasi gereja, 2 minggu berdomisili di Makassar, aku langsung mencari wadah pelayanan di Sekolah Minggu Jemaat Persiapan Bukit Tamalanrea (saat itu belum dimekarkan). Proses pemekaran jemaat berlangsung seru dan penuh perdebatan dan pada akhirnya ini pun menjadi momen yang sangat indah bagiku untuk mengasah kemampuan organisasi. Dan pada statusnya sebagai jemaat Persiapan, aku terlibat dalam OIG sebagai pengurus inti SM/KM-GT.
Mei 2000
Jemaat Bukit Tamalanrea resmi menjadi satu jemaat yang mandiri. Semua OIG wajib melakukan rapat anggota I. Dan lengserlah aku dari Pengurus SM/KM-GT. Demi pengkaderan, muncullah wajah-wajah baru dalam kepengurusan yang membuatku sangat bangga!!! Pembinaan sukses.
24-25 Mei 2000
Rapat Anggota I PPGT justru memberi mandat sebagai ketua PPGT Jemaat Bukit Tamalanrea periode pertama. Kesempatan ini membuka peluang untuk terlibat di Klasis Makassar.
Sebagai Ketua, aku mesti tunduk pada kesepakatan-kesepakatan sekaligus terhadap Majelis Gereja. Namun kembali lagi banyak kenyataan yang tidak mendukung keberadaan pemuda. Dan pada Rapat Pleno Majelis bulan Maret 2001, aku nyaris diusir dari ruangan sidang. Sakit!!! Perih!! Namun demi mandat dan pelayanan kupendam segalanya dan membangun konsultasi dengan rekan-rekan yang juga mengalami hal serupa. Akhirnya keberanian ini dipertimbangkan pengurus Klasis dan Konferensi XII PPGT Klasis Makassar di Kompleks AURI DAKOTA Mandai. Memandatkan aku untuk menduduki jabatan strategis sebagai pengurus terpilih PPGT Klasis Makassar, dengan 21 Jemaat sebagai wilayah pelayanan yang tersebar dari Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto sampai Makassar.
24-25 Mei 2002
Rapat Anggota II PPGT jemaat Bukit Tamalanrea menetapkan aku sebagai pengurus demisioner dengan mengakhiri jabatan sebagai ketua PPGT-JBT. Konsentrasiku saat ini adalah bagaimana bekerja sebaik-baiknya di ladang Tuhan dan menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang nyaris terlupakan. kekeke... Mabuk organisasi kali' ya!!!

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.