Cerpen Rilara Nuadanga

Rilara Nuadanga

Tiap-tiap jiwa musti akan mengalami kematian. Dan, kematian selalu datang bergegas. Lantas, sebuah jembatan kecil antara kehidupan dan kematian yang bernama sakratal maut mustilah diseberangi. Kami, Suku Kaili, menyebut jembatan kecil itu sebagai rilara nuadanga.

”Panggil saja aku Lipu”

Kami tinggal di desa Lero, kecamatan sinduE. Daerah kami berupa pegunungan dan hutan yang lebat. Dulu, sebelum Belanda masuk ke desa kami, daerah kami sudah mengenal sistem kerajaan. Ketika Belanda masuk ke daerah kami, mereka menggabungkan raja-raja menjadi satu di Kabupaten Donggala. Mereka menyebutnya Kota Pitunggota Kerajaan Bonawa. Kota Pitungga berarti tujuh kerjaan yang menggabungkan diri. Begitulah penjelasan saya kepada mereka tentang desa kelahiran saya dengan bangga.

”Bisakah Saudara Lipu, mengantar kami berkeliling?”

Namaku Astari. Kami adalah mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Malang. Kami sebagai delegasi mahasiswa melakukan KKN dengan program berbasis pendidikan. Kami dikirim ke seluruh pelosok tanah air di Indonesia untuk memetakan pendidikan di daerah pedalaman. Tapi, kami juga mendapat tugas untuk melaporkan kegiatan adat di daerah tempat kami KKN.

Kami berjumlah 45 orang. Dari jumlah tersebut, kami dibagi menjadi sembilan kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang yang ditempatkan pada satu dusun. Kami mengikuti lelaki yang bernama Lipu untuk menunjukkan tempat-tempat yang kami ingin ketahui.

”Maaf, kami merepotkan Saudara.”

Lipu tersenyum ramah. Kami melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak. Dalam perjalanan, aku juga musti mengingat nama-nama timku. Walaupun, kami berasal dari universitas yang sama, kami berasal dari fakultas yang berbeda.

Dua orang di belakangku adalah Falis dan Pahlevi. Aku, panggil saja Hara, berjalan bersampingan dengan Rendra. Di depanku, adalah perempuan yang pertama kali membuatku tertarik, Diah Astari. Aku menyukai gaya berbicaranya. Apalagi, ketika ia berbicara dengan Lipu.

”Kami justru senang dengan kehadiran teman-teman dari Jawa.”

Mereka sangat akrab. Dari pertemuan singkat ini, saya dapat menyimpulkan bahwa mereka semuanya adalah orang-orang kota yang cerdas. Terlebih adalah Astari. Ia begitu pandai membuka pembicaraan. Perjalanan panjang ini tak melelahkan, ketika gadis itu tersenyum.

Sampailah kami di desa Lero. Masyarakat di sini sangat senang ketika ada tamu asing datang. Anak-anak kecil mengikuti kami dari belakang dengan riang. Sementara orang tua hanya melihat kami dari teras rumah. Saya mengantar kelima tamu tersebut ke balai-balai rumah tetua kami.

“Terima kasih atas sambutan Bapak dan Saudara Lipu.”

Akhirnya, malam ini kami tinggal di balai tetua kampung. Balai ini memang dikhususkan untuk para tamu. Tempat kami bersebelahan dengan tetua kampung. Rumah di sini sudah berbentuk dinding yang terbuat dari bata merah. Ada juga sebagian yang terbuat dari papan. Sebagai seorang perempuan, aku tidur sendiri di kamar sebelah. Mereka berempat berada di ruang sebelah.

Selepas isya, aku keluar ke halaman. Orang-orang bergegas menuju rumah di seberang. Aku penasaran dengan apa yang terjadi. Ketika aku hendak menuju ke ramaian rumah tersebut, Hara menghampiriku.

“Boleh kutemani?”

Aku duduk di samping Astari setelah ia memperbolehkan aku duduk di sampingnya. Ia menunduk memandang kakinya yang berayun di atas kursi. Sementara rambut panjangnya di sisir dengan jari di depan dadanya. Sebelum banyak aku berbincang kepadanya, Lipu datang ke arah kami memberitahukan bahwa di seberang ada upacara Nopamada.

Aku bergegas memanggil temanku yang berada di kamar. Rendra tidak bisa mengikuti perjalanan karena ia sakit. Kami berjalan mengikuti Lipu dan beberapa orang kampung lainnya.

Dalam perjalanan, Lipu menjelaskan kepada kami bahwa Nopamala adalah upacara yang dilakukan pada masa menjelang datangnya saat-saat kematian. Sekitar sepuluh menit, kami sampai di sebuah rumah yang sudah ramai didatangi oleh orang-orang kampung sekitar.

”Sebaiknya kita masuk.”

Aku memberi usulan kepada Hara, Pahlevi, dan Falis. Kami masih juga mengikuti langkah Lipu ke dalam rumah. Menarik sekali ketika Lipu menjelaskan kepadaku bahwa inti upacara nopamada adalah mengajarkan, mengingatkan, menuntun orang yang sekarat dengan suatu petunjuk atau isyarat tertentu. Upacara tersebut juga bertujuan untuk membuka jalan lempang agar roh dapat keluar dengan tenang dari dalam tubuh pada saat menghembuskan nafas terakhir.

” Kami, Suku Kaili, menyebut keadaan orang yang sekarat itu dengan rilara nuadanga

Astari memperhatikanku. Aku sebagai pemuda di kampung ini, baru kali ini merasakan sesuatu yang luar biasa di sampingnya. Aku mencoba untuk menguasai diri. Untuk mengusir rasa gemetarku, aku memilih menjelaskan kepada mereka mengenai upacara Nopamada.

Ketika si sakit tengah menunjukkan tanda-tanda kematian, kami membisikkan kalimat tauhuid. Kami menyebutnya sebagai nopotuntuaka ritalinga. Barang siapa mampu mengucapkan kata laa ilaha illallah dipercayai bahwa orang tersebut pasti masuk surga.

Pada saat seperti itu, banyak pihak keluarga yang datang. Mereka mengambil kesempatan untuk saling memaafkan kesalahan masing-masing dengan segala keikhlasan. Dan, alangkah besar rasa kekesalan apabila kesempatan tersebut tidak digunakan.

”Solidaritas rasa kekeluargaan dan bertetangga dalam menghadapi suatu musibah tampak dalam nilai upacara ini”

Pahlevi menyetujui usulanku. Hara tersenyum kepadaku. Falis berbincang dengan Lipu. Kami berdiri mengikuti upacara nopotuntuaka ritalinga. Setiap keluarga dan tetangga membisikkan kalimat tauhid di telinga si sakit. Kami pun mendapatkan kehormatan untuk membisikkan kalimat tersebut.

Laa ilaha illallah

Aku mendapatkan kesempatan membisikkan kalimat tersebut setelah Pahlevi dan Astari. Di belakangku menunggu Falis dengan Lipu. Kami pun keluar ruangan. Kami duduk berbaur dengan orang-orang di kampung.

Lipu juga menambahkan kepada kami ketika upacara berlangsung ada beberapa pantangan yang musti dilalui. Seluruh keluarga dilarang menangis, berbicara keras, dan berjalan menghentakkan kaki. Upacara ini dilakukan sampai si sakit menghempaskan nafas terakhir. Pada malam yang larut, Lipu mengantar kami pulang.

”Mari kita pulang”

Aku kembali mengantar para mahasiswa ini pulang. Dengan senang hati saya menjawab pertanyaan Astari. Upacara tersebut dilakukan sampai si sakit meninggal. Kujelaskan ulang kepada mereka bahwa upacara kematian Nopamada memiliki tiga fase, yaitu masa persemayaman atau molumu, masa penguburan motana tomate, dan masa sesudah penguburan.

Tiap-tiap jiwa musti akan mengalami kematian.”

Sepertinya penjelasanku diterima baik oleh Astari. Ia pun menimpalinya dengan kalimat tersebut. Aku sangat berbesar hati. Andai saja. Tapi, apalah diriku hanya seorang pemuda bodoh dari sebuah desa bila dibandingkan dengan mereka. Ia pasti menderita jika bersamaku.

Dan, kematian selalu datang bergegas”

Akupun menambahkan penjelasanku kepada mereka. Lebih baik aku tidak menjelaskan banyak hal tentang semua ini karena aku melihat kelelahan di wajah mereka. Akhirnya, kubiarkan topik pembicaraan mengalir apa adanya. Dan, waktu menjelma derap langkah kaki.

***

Dan, waktu menjelma derap langkah kaki. Mempercepat tujuan dan meninggalkan banyak kenangan. Waktu benar-benar tergulung cepat tak terasa. Ingin rasanya aku tetap tinggal di sini. Udara di sini sudah begitu akrab di hirupku. Tanah di sini sudah begitu lekat ditelapak kakiku.

”Astari,” Hara mendekatiku ”ada yang ingin aku bicarakan.”

Sebagai perempuan, aku berdesir mendengar sesuatu yang misterius. Aku mencoba tetap tenang. Ia mengatur nafas, sepertinya ada kalimat penting yang ingin diucapkan.Tapi ia terdiam, aku masih menunggu perkataan apa yang akan ia sampaikan.

”Astari…”

Kembali kuucapkan kata itu dengan berat. Ada kalimat-kalimat selanjutnya yang terjerat. Tersangkut di sela-sela gigi. Sementara, Astari tampak menunggu perkataanku selanjutnya.

”Astari, aku mencintaimu, dan selpas KKN aku ingin melamarmu”

Itulah yang ingin kuucapkan. Tetapi, kata itu masih tersangkut di bibir. Bibirku tak benar-benar mengucapkan kalimat itu. Kalimat itu hanya hanya tereja dalam degup jantung yang makin cepat dan darah yang makin deras.

”Astari,” dan inilah yang benar kuucapkan ”aku punya kejutan untukmu setelah sampai di kampus”

Oh, betapa Hera memiliki perhatian yang besar kepadaku. Aku tahu dirinya sangat baik. Dibanding yang lainnya, Haralah yang paling dekat denganku. Jujur, aku sudah tak sabar menanti apa yang akan ditunjukkan kepadaku. Karena kau tahu bahwa Hara adalah sosok laki-laki yang penuh dengan kejutan.

”Maaf aku menganggu pembicaraan saudara”

Aku hadir dalam pembicaraan mereka. Aku tahu ini tak sopan. Namun, aku ingin mengatakan sesuatu kepada Astari sebelum dirinya kembali, tetapi aku tak bisa melakukannya. Lagi-lagi aku merasa bahwa diriku hanya sebagai pemuda kampung yang bodoh dibanding mereka. Aku memilih memendam rasa itu.

***

Aku memilih memendam rasa itu. Tak lagi kudengar kabar para mahasiswa itu, termasuk Astari. Aku memilih menyimpannya hingga aku menjalani rilara nuadanga-ku sendiri. Ada nafas yang tersenggal pada senja usiaku. Kabar yang kutitipkan angin selalu kembali pada guguran daun, rindu yang kupesankan kepada ombak kembali menjelma gerimis panjang pada langit kelam.

Ini adalah hari terakhirku. Orang-orang bergilir membisikkan kalimat sahadat di telingaku. Aku belum bisa menemukan atau mengeja kata itu. Hingga nafasku yang paling diujung, aku seperti mendengar ada seorang perempuan mendekat ke telingaku membisikkan kalimat tasbih dan aku mengikuti gerakan bibirnya. Begitu lembut. Dan ada remang panjang yang musti kuraba. Belum pernah kulihat sebelumnya.

Bengkel Imaji Malang, Juli 2007

Lubis Grafura

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.