Gudang Cerpen Dua Orang Tentara

Dua Orang Tentara

SEBUAH laras panjang muncul dari balik celah reruntuhan bangunan. Seperti seekor ular yang mengintai mangsanya dari balik tanah. Senapan itu sesentipun tak bergerak. Pun ular yang memiliki sepasang mata tajam yang diam. Tak hendak melepas mangsanya barang sedetikpun. Hingga setelunjuk jari menarik pelatuk. Jika senapan adalah ular, ia akan meluncurkan kepalanya ke arah mangsa. Dan peluru itu meluncur secepat kedip mata. Orang di seberang sana tergeletak dengan luka di jidatnya. Seolah seekor ular telah mematuk dengan bisa yang tak memberi kesempatan hidup mangsanya.

“Kau penembak hebat!”

Salah seorang tentara yang tampak lebih tua memuji tentara di sampingnya. Masih dengan menahan sakit di salah satu lengannya, tentara yang lebih tua mencoba menyulut sebatang rokok di ujung bibirnya. Teman di sampingnya membantu menyulutkan pemantik pada ujung rokok. Asap rokok mengepul.

Di luar persembunyian dua tentara itu tampak reruntuhan puing-puing bangunan dari gedung-gedung yang hancur. Pohon-pohon yang terbakar. Mayat yang terkapar. Suara dentuman bom menumbuk tanah. Peluru-peluru berdesing berlarian tak tentu arah. Seolah tak pernah jelas mana yang menjadi lawan dan mana yang menjadi teman. Tak ada belas kasihan. Setiap prajurit hanya menembak orang yang berada di garis depan.

Asap-asap hitam mengepul. Asap muncul dari jeep yang terbakar, bangunan-bangunan, atau tank yang meledak. Angin juga membawa asap anyir yang memanggang mayat. Langit tak tampak seperti langit. Yang ada hanya senja, seolah manusia tak pernah merasakan indah mentari pagi. Yang tersisa hanyalah senja dan kegelapan.

“Seharusnya kau berhenti merokok. Itu memudahkan lawan membaca posisi kita”

“Ah, apa bedanya asap rokok dengan asap yang menghanguskan gedung ha?”

Temannya memilih diam. Ia hanya membidikkan senapannya ke arah depan. Ia kawatir jika di depan ada musuh yang juga mengintai ke arahnya. Sepasang matanya menelusuri gedung bertingkat di seberang. Matanya meneliti setiap celah puing jikalau ada sesutu yang mencurigakan ia akan segera menarik pelatuk senapannya.

Bom-bom masih jatuh menghujam tanah. Menerbangkan debu-debu bersama asap. Menyulapnya menjadi mendung. Bunyi suara tembakan masih berdesing. Terkadang di selingi dengan teriakan kesakitan di ujung sana, kemudian hilang. Sedang di mata tentara muda itu tampak setitik ketakutan jika ada pesawat yang melintas. Ia kawatir bom jatuh tepat di atas kepalanya.

Tiba-tiba air mata setiap orang menjelma menjadi hujan. Entah sudah berapa nyawa hilang dibuat taruhan oleh perang. Perang tak pernah mengenal lelah. Perang hanya mengenal dua kata: menang atau kalah. Hanya hujan yang turun membasah tanah. Memadamkan jeep yang terbakar atau tank yang meledak. Menyiram tubuh-tubuh yang terpanggang. Menghentikan api mencipta arang. Sejenak menghentikan dentuman bom atau desingan peluru. Tetapi ada jutaan pasang mata yang terus bersiaga.

“Aku benci hujan”

Kata lelaki yang memegang senapan. Ia berkata tanpa melepas sepasang matanya dari arah depan. Ia tak mau lengah sedikitpun. Dalam hatinya sudah tertanam rasa bersalah yang diciptakan masa lalu. Ia tak hendak mengulangi peristiwa itu. Oleh karenanya ia selalu waspada.

Ketika itu ayahnya menyuruhnya untuk mengawasi adik kecilnya, tetapi ia telah melakukan kesalahan besar. Sebuah mobil melintas dan melindas adiknya hingga tewas di depan matanya. Saat itulah hujan turun deras. Ia melihat ayahnya mengangkat mayat adiknya diantara tetesan hujan. Ia merasa tak berdaya hingga jatuh berlutut tak terasa.

“Hujan bagiku hanyalah kumpulan jarum karat yang dijatuhkan dari langit.”

Mereka diam sesaat. Lelaki yang terluka itu terus menghisap rokoknya. Sementara pada setiap garis kerut di wajahnya seolah menyimpan kenangan pedih yang tak pernah terkirakan. Sesekali ia melihat luka tembak di salah satu lengannya. Sebuah peluru menembus kain dan kulitnya. Bersarang di dalam daging yang mengalir darah. Kengilauan menjalar di seluruh tubuhnya. Ia meneteskan abu rokok di atas luka. Ditahannya sakit dengan erangan yang disimpan dalam kerongkongan.

Anak muda di sampingnya masih mengintai ke depan. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, seolah air hujan telah menetes di pelipis matanya. Bayangan masa lalu yang tak pernah beranjak dalam hidupnya. Terkadang ia menyesal, kenapa ia musti menjalani hidup pada masa yang buruk.

“Tentara,” kata lelaki tua “apa yang sebenarnya kau cari ketika perang?”

Tentara muda di depannya diam. Ia masih merenungi masa lalunya. Hujan sudah mulai reda. Rintik hujan sudah lama tergantikan dengan desing peluru. Bayangan kematian sudah tampak di pelipis matanya.

“Aku sudah perang selama puluhan tahun, nak. Banyak hal yang belum kau ketahui. Ketika perang, kita hanyalah membunuh orang-orang yang sebenarnya tak pernah mengerti untuk apa sebenarnya mereka berperang. Kita tak pernah benar-benar tahu siapa musuh kita sebenarnya. Jika kau tahu, iblislah yang menjadi musuh kita senyatanya.”

Tentara muda itu hanya menghela nafas.

“Sepasang mataku yang tua pernah menyaksikan kehilangan orang-orang yang kucintai. Saat itu aku sedang pulang dari bukit, aku berlari ketika melihat asap hitam mengepul di desa. Aku melihat sekawanan tentara menggiring seluruh penduduk kampung. Mereka tak mengenal lelaki atau perempuan, tua atau muda, miskin atau kaya. Mereka disiksa. Penduduk kampung bersujud memohon ampun. Tentara itu membiarkan mereka pergi, tetapi aku melihat kepicikan di mata tentara itu. Jarak beberapa meter, peluru dari senapan itu dilepaskan. Seperti anjing yang dilepas untuk mengejar mangsa. Satu per satu mereka jatuh tersungkur bersimbah darah.

Akulah yang tersisa. Aku berjalan di antara mayat-mayat yang bergelimpang. Aku berlari menuju rumah. Tak ada siapapun di sana. Aku tak menjumpai orang tuaku. Yang ada di mataku hanya asap, mayat, api, perawan-perawan yang digantung telanjang setelah diperkosa, dan tembok-tembok yang menjadi puing. Dan kepedihan yang dalam itulah yang tersisa. Perang hanyalah pintu kematian”

Pesawat kembali berterbangan dari berbagai arah. Menjatuhkan bom-bom yang meratakan puing-puing tanah. Jeritan-jertitan sakit bersaing dengan raungan pesawat tempur. Seseorang dengan senapan di tangannya berlari ke tengah arena sambil membidikkan senapannya ke langit sambil memaki-maki. Tak satupun peluru yang mengenainya, justru ia mati terkena peluru entah dari mana asalnya. Dan sebuah bom jatuh tepat di atas kepalanya.

“Seharusnya kau tak memutuskan jadi seorang tentara anak muda”

“Aku telah niatkan hidupku untuk berperang di jalan Tuhan.”

“Hmm. Ketahuilah bahwa kematian itu sangat menyakitkan anakku. Pernah seseorang bijak berkata bahwa kematian yang paling mudah adalah seperti kain sutra yang dikoyak dari duri. Lebih baik kau pergi dari sini dan nikmatilah hidup. Tiduri semua perawan yang kau suka“

Senapan itu mengarah pada sebuah kepala yang muncul dari balik celah reruntuhan puing. Tentara muda itu seolah menahan nafasnya. Pelan ia menarik jemarinya menekan pelatuk. Sebuah desingan yang nyaris tak terdengar keluar dari moncong senapan. Lantas, di depan sana seseorang jatuh dari bangunan. Terkapar di bawah tak berdaya.

“Jika kau berperang atas nama Tuhan. Kenapa Tuhan yang kau agungkan tak mengerahkan malaikatnya untuk membantumu? Buang senapanmu dan pulanglah, nak”

“Lebih baik kau diam, lelaki tua”

“Ha ha ha. Sudahlah, buang saja senapanmu. Biarkan Tuhan yang menyelesaikan permainan yang diciptakanNya. Pulanglah”

“Jika sekali lagi kau tak diam akan kutembak mulutmu. Kau hanya takut pada kematian bukan?”

“Takut mati? Ha ha ha. Aku tak pernah mati anak muda. Aku selalu hidup. Sudahlah, pulanglah. Tuhanmu tidak akan pernah menepati janjinya.”

“Jika kau tak diam, aku tidak akan mengatakan ketiga kalinya untuk membuatmu diam selamanya”

Lelaki itu diam. Ia menyulut rokok kembali. Semua hening dalam beberapa saat. Dari arah lain, puluhan pesawat kembali datang dengan membawa bom yang dijatuhkan ke tanah. Menghancurkan apa yang tampak di bawah.

“Pulanglah, kau tak akan memiliki kesempatan dua kali. Tuhanmu tak akan pernah datang menyelamatkanmu. Kau mengenal perempuan ini?”

Lelaki muda itu melihat foto di depannya. Dia adalah perempuan yang selama ini ia cari. Ia telah berkelana untuk mencari seorang perempuan yang pernah menghentikan detak jantungnya. Menghentikan nafasnya. Dan menahan kedip matanya. Hanya untuk bertemu dengan perempuan itu.

“Seharusnya kau pulang. Biar perang ini Tuhanmu yang menyelesaikan. Kau tidak akan mendapatkan kesempatan dua kali.”

Lelaki muda itu tampak berfikir keras. Keningnya berkerut. Keraguan terbaca oleh sepasang mata lelaki tua. Ada masalah yang begitu besar dan segera di putuskan sedangkan pesawat akan segera datang kembali menjatuhkan bom-bomnya. Mungkin dia akan mati dan tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan.

“Berikan senapan itu. Biar aku yang akan membantu Tuhanmu berperang”

Lelaki muda itu memberikan senapan ke lelaki tua. Ia keluar dari persembunyian. Sementara pesawat telah menjatuhkan bom-bomnya dari udara.. Juga peluru-peluru yang berdesing. Lelaki itu jatuh tersungkur ketika peluru-peluru buta menembusi kulitnya.

Bom telah berubah menjadi hujan. Menyulap ribuan prajurit menjadi mayat bergelimpangan. Seolah tak ada lagi yang tersisa. Seolah perang usai. Hanya asap yang tertinggal..

Sebuah bom jatuh tepat di tempat persembunyian lelaki muda itu. Dibalik kepulan asap, munculah seorang tentara dengan sepucuk senapan. Sepatu botnya melangkah meninggalkan jejak di atas tanah. Lantas berhenti di atas kepala mayat tentara muda. Puntung rokok jatuh di depan muka mayat yang terkapar itu.

“Lelaki bodoh,” kata lelaki yang menjatuhkan puntung rokok “Aku tak akan pernah mati sampai masa terhenti. Aku tak akan membiarkan manusia berjuang di jalan Tuhan. Seharusnya kau berjuang di jalan Tuhanmu, bukankah itu yang diperintahkan padamu?. Bukan menjadi pembangkang seperti diriku. Ha ha ha”

Lelaki tua itu mengambil peluru yang bersarang di lengannya dan membuangnya ke tanah. Luka di lengannya pulih seketika. Lelaki tua itu terus berjalan dan hilang di telan kepulan asap hitam. Dan seperti janjinya, ia akan selalu hidup di setiap masa untuk menyesatkan manusia.

Bengkel Imaji Malang, Oktober 2006

Karya Lubis Grafura

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.